
Suatu ketika ada seekor burung pipit kecil yang sedang belajar terbang. Sang Ibu tak sabar ingin anaknya segera mahir terbang tinggi. Sialnya, sang pipit kecil tidak bisa langsung terbang tinggi. Terkadang ia hanya sanggup melompat dari dahan dan langsung terjatuh. Kepakan sayapnya masih lemah dan keahlian terbangnya masih nol.
Sang Ibu semakin tak sabar. Menurut sang Ibu, terbang adalah pekerjaan yang tidak sulit sama sekali. Ini adalah keahlian dasar semua burung pipit. Dalam ketidaksabarannya, sang Ibu mulai kehilangan akal sehat. Keluarlah omelan dan cacian untuk si kecil. "Masa terbang saja kau tak bisa?" "Apanya yang susah, Nak, kan hanya mengepakkan sayap." Mulailah sang Ibu menendang dan menjitak kepala sang anak apabila ia gagal terbang tinggi.
Sang pipit kecil ketakutan untuk mencoba. Terbang yang menjadi impiannya surut tiap hari seiring dengan omelan dari sang Ibu. "Mungkin Ibuku benar. Mungkin aku memang bodoh, tak bisa terbang," pikirnya sendu.
Suatu saat, sang Ibu pipit sedang pergi meninggalkan si anak di dahan. Datanglah seekor macan yang sedang lapar. Si macan mengintai sang pipit, "Akhirnya, inilah makan siangku." Sambil mengendap-endap, sang macan memanjat pohon tanpa suara. Tatkala sang pipit kecil menengok, sudah terlambat tampaknya. Andai kata ia terbang, ia pasti selamat. Namun, di dalam hatinya, si pipit kecil yakin kalau ia tak bisa terbang. Bukannya selama ini sudah terbukti kalau ia memang bodoh, tak bisa terbang? Bukankah selama ini sang Ibu terus berkata demikian?