
Dahulu kala, semua hewan diwajibkan untuk bersekolah layaknya para manusia. Awalnya semua hewan masuk di kelas yang sama untuk mendapatkan pelajaran dasar pertama. Pelajaran dasar pertama antara lain adalah membaca peta hutan rimba, berhitung dan penguasaan karakter musuh.
Lambat laun, kelas dipecah sesuai dengan karakter masing-masing hewan. Para raja rimba seperti singa dan harimau mengikuti kelas mengintai mangsa dan kelas lari cepat. Para pemamah biak diajarkan cara memilih rumput yang segar dan bagaimana cara mengunyah yang tepat.
Tanpa disadari, terjadilah persaingan antar hewan dan antar sekolah. Semua berambisi untuk mencetak murid-murid yang sempurna dan gilang gemilang bak bintang. Status elit antar sekolah juga dipertaruhkan.
Untuk keperluan ini, sekolah-sekolah lalu menerapkan pelajaran yang lebih sulit dan menganut system penilaian yang lebih tinggi kepada para murid. Imbas dari pergeseran ini adalah menjamurnya acara pelajaran tambahan di luar sekolah, terutama untuk anak-anak hewan yang kurang mampu beradaptasi dan untuk anak-anak hewan yang berambisi menjadi bintang. Dipanggillah para pakar dari luar sekolah. Jadilah para anak sapi diajarkan (secara lebih mendalam) bagaimana cara memamah biak yang (lebih) tepat supaya ia bisa ke sekolah dan mempraktekkan cara memamah biak yang benar tersebut. Demikian pula dengan si anak singa. Supaya ia lebih jawara di dalam memburu mangsanya, ikutlah ia di pelajaran tambahan di luar jam sekolahnya, yang mengklaim akan lebih mengasah kemampuan perburuannya. Supaya nantinya ia bisa lulus dan memperoleh nilai yang lebih tinggi di sekolahnya, demikian klaim si orang tua singa.