Thursday, December 2, 2010

Kita dan Rumput tetangga



Saya termasuk wanita yang beruntung. Di usia yang tak lagi belia, saya masih boleh bangga beradu kecantikan kulit dengan para wanita yang jauh lebih muda. Dan semuanya ini saya dapatkan tanpa embel-embel dagangan kosmetik jutaan atau jimat dokter kulit atau mandi air susu dicampur bunga mawar. Malahan saya tidak terlalu menggubris urusan kulit wajah dan badan.

Lucunya, justru orang lain yang selalu memperhatikan kulit saya ini. Dari tukang salon, penjahit baju – dari yang kondang sampai yang rumahan, tukang pijat, penjual kosmetik, sampai ke suami saya dan teman-teman saya. Saya sering ditanya, minum jamu apa, pakai kosmetik apa, perawatan kulit di mana dan lain sebagainya.

Seperti manusia biasa lainnya, saya justru ribet sekali mengeluh soal bagian-bagian tubuh lain yang saya rasa kurang sempurna. Mata yang sipit sebelah, posisi gigi yang miring, rambut yang tipis, perut yang bergelembung tidak rata seperti papan, paha yang bersayap, badan yang kurang tinggi semampai dan masih banyak lagi. Tiap hari bangun pagi, pergi berkaca, dan langsung memergoki (kembali) segala kekurangan fisik saya tadi. Tak sekalipun saya meluangkan waktu untuk mengamati keindahan kulit saya yang tersohor itu, boro-boro mau meluangkan waktu untuk merawatnya. Prioritas utama saya yaitu menguruskan perut dan menghilangkan sayap di paha. Kalau perlu tidak usah makan sama sekali, sampai sakit maag hebat membuat saya lemas. Meluangkan waktu memeriksa serta mengukur apakah komposisi gigi saya yang miring bisa mendadak lurus dalam semalam. Sibuk menghitung helai rambut yang rontok tiap kali disisir. Sibuk berkhayal bagaimana cantiknya saya kalau badan saya tinggi di atas 1.5 m bak peragawati.
Terkadang, waktu saya juga habis mengagumi apa yang dimiliki orang lain, tetapi yang tidak dimiliki saya. ”Wah, si Anu kurus langsing ya. Perutnya rata lho.” Atau “Beruntung sekali si Anu. Matanya belo, bulu matanya lentik.” “Coba kalau saya bisa setinggi si Anu, semua peragawati lewaaat dah.” Kalau ada yang memuji saya, “Kulitmu halus dan wajahmu tidak jerawatan,” sayanya cuma melengos masem. “Plueassee dweeh…”





Rumput tetangga selalu lebih hijau? Bisa jadi, tapi bunga saya lebih merah…

Manusia itu sering –bahkan selalu- tidak pernah puas dan bersyukur dengan apa yang mereka punyai. Entah itu talenta diri sendiri, keluarga, pasangan hidup, anak, karir, semuanya. Selalu lupa dengan apa yang kita punya, dengan apa kekuatan kita, malah sibuk memperhatikan yang kita kurang. Yang kurang dari karir, yang kurang dari pasangan, yang kurang dari anak, yang kurang dari saya. Pelajaran yang satu ini sudah sangat sering kita dengar.

Fokus pada kelebihan dirimu, juga nasihat lain yang sering didengar dan dibahas banyak orang. Dan memang benar maksudnya. Sudah dikasih kelebihan kenapa tidak dimanfaatkan ? Kalau saya tidak bisa membeli rumput yang sehijau milik tetangga saya, boleh dong kalau saya isi halaman saya dengan bunga yang paling merah… memang hanya rumput saja yang bisa dibandingkan?

Pelajaran yang mungkin terlewatkan adalah, boleh saja mengagumi dan membandingkan kita dengan orang lain, selama hasil pengamatan itu akan memacu kita untuk menjadi yang lebih baik. Kalau tidak mau perut gendut, rajinlah berolahraga dan makan makanan yang sehat. Kalau mau karir yang lebih kinclong, mulailah mengerjakan hal-hal kecil dengan semangat besar, mulailah membuka mata mencari peluang. Pastinya pikiran positif ini akan lebih baik daripada berkeluh kesah mengasihani diri sendiri dan memendam iri hati kepada rekan lain yang jauh lebih kinclong dari kita. Tenaga yang kita pakai untuk membandingkan diri dengan orang lain dan menerima kekurangan kita, harus disulap menjadi energi yang bisa membawa kita ke tempat yang lebih baik. Adanya sedikit tekanan dan persaingan sangat hebat efeknya, asal jangan kebablasan menjadi obsesi gila-gilaan.

So, there…Live lighter, live happier.

1 comment:

  1. Nice note! Iya, bener banget, energi kadang terbuang untuk yang tak kita miliki... hehehe...

    ReplyDelete