Di suatu sore yang panas, saya bercurhat dengan seorang sahabat nyentrik bernama C lewat salah satu media chatting. Percakapannya singkat, tetapi drama percakapan ini lalu berkembang-biak lebih hidup di dalam otak saya. Seakan-akan per-chatting-an 10 menit tadi berubah menjadi percakapan face-to-face beneran di sebuah kedai kopi Starbucks... lengkap dengan Lattee, cinnamon rolls, blackberries, oversized handbags, dan Marlboro (yang terakhir ini khusus buat C).
“Heran ya.. kenapa banyak sekali orang munafik di dunia ini,” keluh saya dengan nada putus asa.
“Baru tau loe?” sahut C cuek.
“Gue selalu kena ama orang beginian, yang mengakunya suci, sok berkelas, sok berpendidikan, tapi kenyataannya jauh euy. Ngelihat semuanya kok dari pikiran yang sempit. Gak open-minded.”
“Money Talks bulls**t walks.”
“Judgemental, prejudice...“
“Money talks bulls**t walks.”
“Coward, sok tau, reseee deh pokoknya. Benci banget ama orang-orang berjenis pretentious begini. Benci, Benci. BENCI!”
“Money talks bulls**t walks.”
“Could you please STOP saying that! Focus, girl, focus.”
“Lha ini fokus. Itu jawaban dari semua keluh kesah cengeng loe.”
“Lucu kan, C. Tuhan saja tidak pernah judgemental, ya gak? Orang yang berdosa aja masih dianggap sederajat, tidak dihakimi secara membabi buta. Apalagi disalah-salahkan, di-asbun-asbunkan, diejek-ejek. Lha kenapa manusia yang ngaku beragama dan berpendidikan banyak yang tingkahnya gak begitu? Why why ?”
“As I said...”
“DON’T!! Ya, ya gue tahu.. money talks bulls**t walks.”
“Temen gue juga banyak yang taking advantage abis-abisan. Yang menghakimi gue dengan norma-norma mereka sendiri.Tapi lucunya di depan gue manis banget, apalagi kalau ada perlunya. Jangan tanya deh kalau di belakang gue..”
“Kaca mata kuda?”
“Kali.”
“Menurut gue lebih parah dari kacamata kuda dong. Kalau kacamata kuda, biarpun gak bisa lihat kiri kanan, tetep bisa lihat jauh ke depan.. kalau yang begini ini bukan kacamata kuda lagi, tapi kacamata cermin kuda. Gak bisa lihat kiri kanan, lihat depan lihat ke cermin. Cuma bisa lihat bayangannya sendiri, terus mengagumi diri sendiri.”
“Hahaaa”
“Money talks bulls**t walks? So gak fair.”
“Life is not fair, baby.”
“Gembel, jangan pakai istilah itu deh. Kenapa gak Honesty Talks, Integrity Walks? Atau Happiness Talks, Tolerance Walks. Atau Friendship Talks, Love Walks? Atau Intelligence Talks, bulls**t dies?“
“Karena kita hidup di dunia Money talks bulls**t walks, honey. Tapi bukan berarti loe mesti jadi begitu juga.”
“Uh-huh. Mati gaya deh. Gak enak sekali money wins dan bulls**t wins?”
“Gue paling males ngeladeni orang yang penuh prejudice yang berkacamata kodok whatever itu. Gak mau nanggepi. Gue isengin malah iya hahaa.“
“Small minds think too much of not important things. Great minds have no time to think of those things. Itu katanya orang pinter.”
“Setuju. You are different, babe.”
“We are different.”
“Yoiii..”
“Tapi .. bukannya kalau begini, kita juga sama aja kayak mereka. Selalu menganggap diri kita paling oke sendiri, lebih pinter dari yang lain? Belum ada prestasi juga. Prestasi gue cuma sebatas ber-bulls**t ria ama loe gene..”
“Bulls**t sambil ngopi enak kan?”
“That’s not my point. Kita sama aja dong seperti mereka. Melihat orang lain dari kacamata sendiri”
“Selama loe tidak berpikiran sempit. Selama loe tidak menghakimi orang dengan mata dan hati tertutup. Selama loe tidak dengan sengaja mencari masalah dengan orang lain. Selama loe tidak memanfaatkan kebaikan orang lain untuk agenda terselubung loe sendiri. Selama loe gak mempengaruhi orang lain untuk tujuan/motif yang salah. Selama loe tidak sirik dan memfitnah orang lain. Selama loe gak sok suci, sok kaya, sok pinter, sok bener dan menganggap remeh orang lain... selama loe gak sok begitu-begitu-an.. Yes, we are different. Banyak lagi orang yang bermoral baik di luar sana. Jangan fokus ama segelintir yang tidak.”
“Kebalik, Neng. Semangkuk orang yang bermoral, seember orang yang munafik.”
“Mungkin.. loe main sama orang yang bermoral aja lah. Putusin yang bukan.”
“Repot...”
“Apanya yang repot? Gak usah hang out dengan mereka, beres.”
“Repot lah. Gimana caranya gak hang out di facebook, di bbm, di ym, di twitter, di blogs... Mbulet bener ini virtual life gue. Lebih gampang emang hidup di jaman batu. I don’t like you, I don’t see you.”
“wakakaka..”
“Gak hang out ama orang yang omong gede juga ya, C?”
“Ya itu juga.”
“Gak sama yang munafik juga.”
“That too.”
“Hahaa, kacamata cermin kuda sekali deh loe.”
“Dunia ini besar, darling. Ubah diri sendiri dulu, jangan buang energi ngurusin orang lain. Tapi loe mesti ingat ya, birds with the same feathers always flock together..”
“Maksud loe, orang dengan kepribadian yang sama cenderung berteman dengan orang bertipe sama? Kata siapa euy? Ilmiah gak nih?”
“Well, nyatanya terbukti in my life..maksud gue by the same feather ini lebih ke prinsip hidup seseorang, gimana dia menempatkan dirinya untuk jadi orang yang baek. Bukan persamaan hobi..”
“Pastinya bukan karena sama agama atau sama ras ya, C ?”
“Aduh, ya gak. Lha lihat aja, loe ama gue beda agama, beda suku, tetep aja bullsh**t nya sama.”
“Bukan karena duitnya setingkat ya, C?”
“Halaahh!! Apalagi !! Kalau dipikir-pikir kita itu beda banget lho. Gue sosialita, loe bukan. Gue keren, loe so-so, rambut gue ijo, rambut loe hitam...loe suka mellyberry, gue suka marlboro..”
“OKAY OKAY!! I get it! There is nothing we can do ya? Untuk membuka mata, hati, pikiran orang yang belum terbuka?”
“Ngapain tanya lagi berulang-ulang, kan udah dijawab atuh. Udah ah, kerjaan gue segabrek dan gue lagi disoriented...mau ngerokok dulu. Udah selesai belum bulls**t loe?”
“Udah, Yang Mulia...”
Sembari menyeruput latte yang sudah tidak mengepul lagi, mau tak mau saya berpikir.. kacamata cermin kuda ini penting sekali dalam pembentukan karakter manusia. Saya jadi teringat film The Blind Side yang bercerita tentang open mindedness, tentang cinta kasih, tentang toleransi. Saya tidak mau membuang kacamata cermin kuda saya, karena setiap kali jika saya sedang bimbang atau sedang marah, saya akan pakai kembali kacamata itu. Untuk mengingatkan bahwa dunia itu luas, karakter manusia beragam, dan tidak adil kalau saya hanya melihat bayangan orang lain melalui cermin saya sendiri. Juga tidak adil untuk orang lain untuk melihat atau menilai saya berdasarkan cermin kuda mereka sendiri. Meminjam catatan di note saya “The Blind Side”, bahwa menjadi orang yang mempunyai pikiran dan hati terbuka itu sangat sulit, mungkin pekerjaan yang paling sulit di dunia ini. Tapi kita harus optimis, bahwa dengan banyak latihan kita menjadi bisa. Kalau optimisme itu saja sudah tipis, mau bagaimana lagi? Jangan sampai Money Talks, Bulls**t Walks, Integrity Hides, and Hope Dies.
(Inspired by a short but meaningful conversation between me and C. May you always be a bulls**t-free woman. Ini nulisnya sudah sesuai rancangan undang-undang kan, Ibu Guru, sudah pakai tanda **)
No comments:
Post a Comment