Tuesday, June 1, 2010

Belajar itu (seharusnya) Menyenangkan

Preface :
Special thanks to my teacher friends, Jane and Agnes Bemoe, for allowing me to pick their brain and for sharing their thoughts. May you always teach from the heart, because nothing will ever go wrong from the heart's point of view. May you always inspire your students, because they never fail to inspire you.


Belajar itu (seharusnya) Menyenangkan

Ada banyak alasan mengapa judul di atas itu benar. Berikut ini adalah beberapa alasan tersebut.

Alasan pertama, semua manusia diciptakan oleh Sang Pencipta lengkap dengan rasa ingin tahu yang besar. Curiosity adalah awal yang membawa manusia berkembang maju. Tanpa curiosity, manusia tidak akan pernah mendarat di bulan, tidak akan pernah menghasilkan penemuan dan inovasi besar, tidak akan bertambah pintar. Manusia pada dasarnya selalu ingin tahu, selalu tergerak untuk mencari tahu. Curiosity ini sudah ada di dalam diri kita sejak kita bayi sampai selamanya. Walaupun kita telah melepaskan bangku sekolah, rasa keingin tahuan kita masih tetap ada. Kita tetap mau tahu ini dan itu, dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang besar.

Proses mencari tahu ini sebenarnya adalah proses belajar itu sendiri. Jadi seharusnya, proses belajar dari kita kecil sampai tua adalah proses yang menyenangkan, karena kita semua sudah dikaruniai DNA curiosity ini. Tidak perlu memakai paksaan. Belajar yang benar dan menyenangkan itu adalah belajar yang dapat menjawab kebutuhan curiosity kita. Belajar itu harus bisa merangsang kreativitas, imajinasi, dan out-of-the-box thinking. Kalau sudah berbicara mengenai ini semua, secara otomatis belajar itu menjadi menyenangkan. Jangan lagi belajar model hafalan atau cara diktator yang meminta anak untuk menerima saja tanpa banyak tanya. Kalau dalam kenyataan, proses belajar – terutama untuk anak-anak – menjadi tidak menyenangkan, menjadi membosankan atau malah menjadi menakutkan, maka kemungkinan besar yang salah bukanlah sang anak, tetapi sistem belajar dan tenaga pengajar itu sendiri.



Alasan kedua, belajar itu menyenangkan apabila sesuai dengan porsi dan tipe sang anak. Sama seperti porsi makan dan jenis makanan, ada bedanya antara porsi makan dan jenis makanan untuk batita, remaja, dan orang lanjut usia. Sayangnya di jaman sekarang, kebanyakan orang tua berlomba-lomba menambah jam belajar anak secara membabi buta. Kriteria anak yang hebat adalah anak yang berprestasi akademis tanpa cacat di sekolah. Ini biasanya ditempuh tanpa memperhatikan keperluan si anak yang lain. Setelah seharian di sekolah, anak masih harus ikut les pelajaran dan les lainnya sana sini. Tak heran bila anak tidak mempunyai waktu untuk bermain sama sekali. Tidak mempunyai waktu untuk dirinya sendiri, untuk bersantai, untuk menyalurkan hobinya. Lucu bukan, masa anak SD mempunyai jadwal belajar yang lebih padat dari jadwal meeting seorang Direktur? Kapan waktu main mereka? Bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi anak yang kreatif, yang sehat fisik dan mentalnya kalau mereka dipaksa untuk matang sebelum waktunya? Dipaksa menjadi superkid di luar batas porsinya? Teman saya - seorang Kepala Sekolah TK - pernah berkata, “Let the kids play. God has given us this world, and this world is the best learning class ever. Why bother teaching the 3 yr old kid to read and do homework? They’ll be ending up doing homework for the rest of their life. Look at us. We are doing homework everyday, aren’t we? Don’t push our toddler to become us prematurely.” Hak dan waktu anak yang sudah terampas, tidak bisa kembali.

Bagaimana rasanya kalau kita yang sudah bekerja seharian di kantor (standar normal 8 jam), masih disambung dengan meeting atau lembur atau pelatihan ini itu setelah jam kantor setiap harinya? Akibatnya pasti capek, letih lesu dan stress. Anak juga mengalami hal yang kurang lebih sama. Terlalu memaksa anak di luar umur dan kapasitas mereka adalah seperti memeras spons basah sampai kering. Spons yang kering itu rapuh dan mudah rusak. Kalau sudah begini, mana mungkin belajar itu meyenangkan?

Alasan ketiga, setiap manusia (termasuk anak) adalah individu yang unik. Mereka mempunyai bakat/talenta/preferensi masing-masing. Anak yang hebat di olahraga mungkin tidak terlalu luwes di musik. Anak yang jago matematika mungkin tidak begitu tertarik dengan Bahasa. Untuk menjadikan belajar itu menyenangkan, jangan menganggap anak sebagai robot yang harus hebat di semua bidang. Dukung 200% hobi dan talentanya. Doronglah sang anak dari level ‘suka science’ menjadi ‘cinta science’ dengan cara-cara yang kreatif. Dukung pula 100% bidang-bidang lain yang mungkin kurang menarik baginya. Cobalah mengubah sikap anak dari “benci math’ menjadi “berteman dengan math.” Syukur-syukur bila mampu mengubah sikap “benci math” si anak menjadi “cinta math”. Kalau tidak berhasil, ya semampunya saja, asalkan mereka sudah berusaha semaksimal mungkin dan kita telah mencoba cara fun learning sekuat kita, bukan dengan cara paksaan dan pembodoh-bodohan. Kalau kita suka matematika, belum tentu anak kita juga suka matematika. Belajar itu akan menyenangkan apabila kita sebagai orang tua (atau guru) tidak main pukul rata dengan menganggap bahwa semua anak adalah mass production dan tidak melihat persoalan preferensi dari kacamata kita sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk menjadikan proses belajar itu menyenangkan buat sang anak, pengaruh para pendidik sangatlah dominan. Teman saya - seorang guru di Pekanbaru yang juga seorang penulis- memberikan definisi berikut ini :

Teacher comes from the word teach. Teach means to tell/show somebody how to do something. The person who is being taught transforms himself/herself from ‘dont know’ to’ know’, from being ‘incapable’ to’ capable’. Teaching’s much or less connected to one’s intellectual ability.
An educator works with emotional, social, and spiritual aspect of the students, aside from the student’s intellectual aspect. Teacher’s duty stops when he/she succesfully taught a pupil how to count. Educator’s duty includes an obligation to show how counting can be useful/meaningful to the students in the real life.


Mengacu kepada definisi teman saya tadi, kita sebagai orang tua otomatis tergabung di dalam definisi pendidik (educator), walaupun secara informal. Memang sulit untuk mengganti sistem pendidikan di suatu negara, untuk mengganti sistem kurikulum dan sistem penilaian di suatu sekolah, untuk meminta semua guru di sekolah anak kita mengajar sesuai dengan karakter anak kita seorang. Hal-hal tersebut di luar kontrol dan wewenang kita. Tetapi jangan hanya menunggu perubahan datang, kita harus aktif melakukan perubahan-perubahan kecil di dalam proses belajar anak kita sendiri. Jangan ikut-ikutan les karena latah, tapi lihatlah kondisi si anak, pertimbangkanlah usia si anak. Jangan mengajar anak dengan emosi yang penuh ketidaksabaran. Jangan terlalu cepat memfonis kemampuan belajar seorang anak. Pakailah nurani dan akal sehat. Orang tua bertanggung jawab dalam menyeimbangkan keperluan dan kemampuan anak kita dalam proses belajar-mengajar. Tujuan kita adalah menciptakan anak yang sukses menjalankan a well-balanced life.

Ayo mulai menanamkan ide Belajar itu Seharusnya Menyenangkan di pikiran kita. Setelah itu ayo digerakkan ke arah Belajar itu Harus Menyenangkan. Kemudian ditingkatkan menjadi Belajar itu Ternyata Menyenangkan. Akhirnya tanpa kita sadari, Belajar itu Memang Menyenangkan!

Tulisan ini ditulis tanpa mengacu kepada teori atau penelitian ilmiah tertentu. Tulisan ini ditulis murni dari pengalaman penulis sebagai orang tua dari anak-anak yang berusia 3 dan 7 tahun.

2 comments:

  1. Sangat setuju bahwa belajar itu harusnya menyenangkan, tetapi kadang pressure itu datang dari sekolah. Kadang2 apa yang didapat disekolah kurang diserap oleh si anak, hingga muncul lah yang namannya les diluar sekolah. Kadang dengan adanya les, maka nilai sekolah meningkat. Jadi yang buat anak pintar atau naikkan nilai itu sekolah atau les ya? contoh saja, pelajaran mandarin, hmmmmm saya melihat meningkatnya nilai mandarin karena les, bukan dari sekolah. Anak2 sekarang malah sudah seperti orang kerja, berangkat jam 6.30, pulang jam 19.00, lebih dari normal jam kerja ya, kasian. Sampai kadang gak berani tanya apakah mereka menikmati waktu mereka di tempat les atau mereka capek setelah seharian belajar. Mungkin juga sekolah harus menerapkan system belajar yang menyenangkan ya, bukan pressure. Tp pada kenyataannya international school juga banyak homework and project, tak ketinggalan dgn exam yang bahannya kadang kita orang dewasa merasa duh banyak banget ya. Well, hopefully system belajar mengajar dapat dirubah ke hands on dari pada theory terus dan bukan exam based.

    ReplyDelete
  2. Very good! Very good! Never ever stop inspiring people through your writing. You are good. As a teacher myself, I agree with your idea 1000%. Let's teach the kids the fun learning as much as possible.

    ReplyDelete