Wednesday, January 19, 2011
Menuju kehidupan yang lebih langsing
Problema klasik post-holiday di kalangan manusia awam adalah bertambahnya ukuran lingkar perut, pinggang, dan paha akibat pola dan jadwal makan yang berantakan. Pada saat liburan, kita makan berdasarkan mood, bukan need. Happy mood makan, tired mood makan, shopping mood makan. Kesuksesan sebuah liburan diukur dari keberhasilan kita memaksimalkan kapasitas mood makan. Maka tak heran bila banyak orang ingin dirinya bertambah langsing sepulang liburan. Paling tidak, kembali ke ukuran semula lah. Saya tak terkecuali. Apalagi setelah dikomentari kiri kanan,"Gendutan ya, Melllll..."
Jadilah saya serius merumuskan rencana untuk menuju kehidupan yang lebih langsing. Enaknya kalau punya tujuan yang sama dengan teman-teman seperjuangan. Disambut baik dan dijalankan bersama-sama. Ternyata, urusan diet itu susah sekali. Selalu ada rangsangan buat makan. Selalu ada alasan untuk membuka kulkas dan mengunjungi dapur/kantin, dan mengintip meja makan. Niat dan disiplin diri sendiri yang kokoh sangat penting untuk kesuksesan sebuah diet. *ehm*
Tidak hanya satu tujuan langsing yang ingin saya sukseskan tahun ini. Saya punya dua target kehidupan langsing. Selain langsing fisik, saya juga ingin langsing pikiran. Artinya, saya tidak mau terlalu banyak mikir yang berat dan tidak-tidak. Saya tidak mau membebani pikiran saya dengan pikiran negatif dan rasa cemas yang berlebihan. Ini semua membuat pikiran saya gemuk, kelebihan lemak jahat yang tak perlu. Kalau mau langsing fisik saja susah, langsing pikiran adalah juaranya. Jika skala kesulitan langsing badan itu 10, skala untuk langsing pikiran adalah 1000. Susaaah pol!
Adaaa saja yang membebani pikiran saya. Dari urusan pembantu (urusan klasik ibu-ibu), urusan ujian dan pelajaran sekolah, urusan pekerjaan, urusan mengatur keuangan, sampai urusan jangka panjang yang masih belum kelihatan bentuk rupanya. Saking gembrotnya pikiran saya ini, saya menjadi sluggish dan susah bergerak. Mencapai situasi bahagia lalu menjadi tantangan, karena pikiran lainnya sudah sedemikian beratnya. Kaum dokter menyebutnya stress. Gejala obesitas pikiran antara lain sering lupa bersyukur (appreciate), sering lupa untuk bersikap ramah dan positif, wajah tak berseri-seri (gimana mau cerah, lha wong pikirannya heavy metal terus), gampang marah dan berprasangka, kurang bisa menikmati humor, dan lain-lain. *ehm, termasuk juga di dalamnya sifat bitchy saya yang overcapacity*
Memang susah jalan menuju kehidupan langsing ini. Mungkin ada baiknya kalau saya mulai dengan baby steps. Daripada langsung stop makan sama sekali (dan masuk ICU), mungkin saya kurangi makan nasi malam hari saja dulu. Stop makan makanan yang penuh dengan pemanis (oh, my dessert, nasibmu kini).
Daripada saya terus menerus kuatir tentang hal-hal tertentu yang belum terjadi, mungkin saya fokus ke saat sekarang dulu. Fokus ke orang-orang dan kehidupan yang saya jalani sekarang. Toh tidak banyak membantu usaha saya untuk melangsingkan pikiran kalau saya terus-terusan khawatir tentang segala jenis aspek kehidupan saya, selalu berkeluh kesah dan pahit, selalu lupa menghargai apa yang saya punya saat itu.
Live in the moment is hard, live appreciatively is even harder. Live lighter and happier in the moment is the hardest. But they are not impossible. Acknowledging that those are hard makes us appreciate them even more. It makes us strive harder to achieve them.
So, gas pol menuju kehidupan langsing. Tulisan ini ditutup dengan mengecek angka di timbangan badan dan blowing kisses to people who matter most in my life :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
That's me. kl sdh stress, makan aja dipikiran. coba gak makan nasi malam, tp laper, ujung2nya makan ice-cream, gaswattt d. well my friend, thx for this motivating articles. let's do it together, motivate each other ya.
ReplyDelete*can't resist noodle though*hhehehehehe